Kamis, 30 September 2010

KEBUDAYAAN “TAENANGO” YANG DITENGGELAMKAN ZAMAN

Oleh:
Cintiawati

Jika kita akan melakukan suatu penelitian untuk mengetahui seberapa banyak generasi muda Tolaki yang memahami ataupun sekedar tahu apa yang dimaksud Taenango, maka yang akan kita dapatkan dari mereka adalah wajah-wajah kebingungan. Terbukti ketika saya melakukan observasi di daerah Konawe Selatan, tepatnya di Kelurahan Ambalodangge. Rata-rata remaja yang berusia 18 tahun ke bawah hingga di bawah umur sudah tidak mengenal lagi yang namanya Taenango. Bahkan mengetahui keberadaan kebudayaan tersebut sama sekali tidak ada gambaran di dalam pikiran mereka. 

Sungguh ironis ketika kita masih mendiami daerah kelahiran kita yang notabene masyarakatnya masih didominasi oleh suku pribumi itu sendiri. Lantas mengapa kebudayaan daerah tersebut tidak diketahui oleh generasi muda sekarang. Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada  pemerintah daerah yang tidak dapat melestarikan kebudayaan tersebut, tetapi kita perlu memahami apa yang menjadi permasalahan sehingga masyarakat ataupun generasi muda yang tidak mau menanamkan jiwa kecintaan mereka terhadap kebudayaan daerah Tolaki yang mulai tertimbun oleh zaman. 

Khususnya di daerah Kelurahan Ambalodangge dan sekitarnya, masyarakat yang mengetahui tentang gambaran umum budaya Taenango hanyalah kalangan orang tua yang sudah lanjut usia. Sedangkan yang bisa membawakan cerita Taenango tersebut tinggal dua orang. Meskipun mereka tahu susunan cerita tersebut tetapi mereka juga tidak mengetahui secara jelas asal-muasal kebudayaan tersebut. Adapun yang  mengetahui secara detail sejarah Taenango, yang tersisa tinggal satu orang dan untuk menemui orang tersebut sangat susah karena di samping daerah tempat tinggalnya yang begitu jauh, orang tersebut juga mempunyai kesibukan tersendiri terkait dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yaitu berkebun. Sehingga saya tidak bisa mencari informasi yang lebih jelas dari orang tersebut.

Ada salah satu tokoh masyarakat yang juga biasa diundang untuk menjadi penghulu pada suatu pernikahan. Akrab disapa Pak Lawoha. Usianya sekitar 65 tahun. Dia sedikit tahu tentang keberadaan budaya Taenango, sehingga saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menanyakan hal ini. Dia mengatakan bahwa Taenango tidak seperti apa yang dipahami masyarakat awam pada umumnya  yang menyamakan Taenango dengan Nango (dalam bahasa Indonesia berarti dongeng) yang biasa diceritakan nenek atau kakek kepada cucunya sebelum tidur, tetapi Taenango merupakan cerita nyata yang sebelumnya sudah pernah terjadi pada masa lampau. Cerita ini tidak asal-asalan diceritakan seperti Nango yang penuh dengan cerita fiksi dan imajinasi dari para pengarangnya, melainkan fakta yang pernah terjadi di masa peradaban manusia, masa kerajaan bahkan awal munculnya manusia di muka bumi ini. Dengan demikian tidak banyak yang bisa menghafal susunan cerita Taenango tersebut, dan ini adalah salah satu kendala sehingga budaya ini susah untuk dilestarikan. Karena untuk menyelesaikan satu cerita Taenango saja bisa memakan waktu hingga satu hari satu malam bahkan lebih dari itu.

Taenango pun juga mempunyai cirri khas dalam penceritaanya, yaitu dengan cara di Niwaeo (dilagukan) dan menggunakan bahasa Tolaki asli yang sangat kental. Sehingga terkadang ada potongan-potongan kata yang tidak dipahami oleh masyarakat awam, kecuali orang-orang yang sudah sangat paham dengan bahasa Tolaki.
Terakhir kali saya mendengar Taenango sewaktu masih duduk di kelas IV Sekolah Dasar. Saat itu Pak Lawoha mengundang seorang kakek yang bernama Randa. Kakek Randa sudah tidak bisa melihat lagi namun daya ingatnya masih sangat kuat, sehingga dia dikenal mahir membawakan Taenango dan sering diundang untuk menghibur masyarakat dengan cerita-cerita zaman dahulu. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah kakek Randa sudah sangat tua hingga akhirnya dia menutup usianya pada saat berumur sekitar 80 tahun dan tidak ada satu pun yang menjadi penerusnya agar Taenango ini tidak punah dari tanah Tolaki.

Dan terbukti hingga saat ini tidak ada lagi kita mendengar di salah satu tempat ada Taenango, seperti dulu yangt tiap minggunya selalu diadakan di rumah-rumah penduduk yang sengaja diundang untuk mendengarkan Taenango. Betapa menyedihkan ketika kehilangan momen seperti itu, dimana masyarakat selalu berkumpul untuk mendengarkan bagaimana sejarah peradaban manusia di zaman dahulu. Di saat-saat seperti itulah kesempatan untuk menguatkan silaturahmi, kebersamaan, dan saling menghargai. 

Seiring perkembangan globalisasi yang sangat cepat hingga menyelusup ke daerah-daerah hingga ke pelosok desa, bukan mencerdaskan kehidupan anak bangsa melainkan menutup perkembangan atau pelestarian budaya daerah, bahkan celah menuju ke tempat dasar kebudayaan tersebut sangat susah. Perkembangan Iptek sudah merajai pemikiran masyarakat. Awalnya dengan adanya Taenango, itu bisa menghibur dan bisa mempersatukan masyarakat. Tetapi setelah adanya hiburan yang dikemas sedemikan rupa di setiap siaran televisi, atau pun media elektronik lainnya membuat masyarakat enggan untuk keluar rumah ataupun mencari hiburan khususnya yang berbau kebudayaan daerah. Teknologi masing-masing sudah dimiliki setiap masyarakat, maka budaya kebersamaan, bertetangga, bahkan persatuan sudah mulai hilang. Inikah yang diharapkan perkembangan Iptek dapat mencerdaskan anak bangsa?

Tidak hanya Taenango yang sudah tersingkir oleh kerasnya arus globalisasi, tetapi masih banyak lagi budaya-budaya yang akan menjadi korban selanjutnya untuk hengkang dari dunia asalnya. Nango atau dongeng sudah mulai tidak diceritakan oleh ibu kepada anaknya sebelum tidur, melainkan lagu nostalgia barat yang diputar melalui DVD yang lebih ampuh membuat anak lebih cepat tidur, tidur untuk melupakan budaya nenek moyangnya. Tolea Pabitara dalam hal ini penghulu yang selalu beradu pantun sebelum pernikahan dilangsungkan, kini sudah mulai hilang. Bahkan bahasa pengantar ijab kabul yang dulunya menggunakan bahasa Tolaki kini sudah mengunakan bahasa Indonesia. Akankah budaya daerah akan terus-menerus menjadi korban arus perkembangan zaman? Entahlah.

Siapa yang harus disalahkan. Pemerintah tidak punya kekuatan untuk mengelak hal-hal tersebut bahkan tidak ada kepedulian untuk tetap melestarikan kebudayaan Taenango tersebut. Begitu pula masyarakat atau pun generasi muda sekarang tidak ada sama sekali terbesit di hati-hati mereka untuk mempelajari budaya-budaya yang menjadi kekayaan daerah Tolaki, Sulawesi Tenggara, Indonesia secara umum. Maka harapan yang sangat signifikan untuk tetap mempertahankan budaya ini adalah bagaimana masalah pemerintah yang didukung oleh masyarakat  untuk mencari bibit-bibit yang bisa dilatih untuk mempelajari Taenango dan kebudayaan daerah Tolaki lainnya. Dengan tujuan dapat mengangkat derajat daerah Sulawesi Tenggara di lingkup nasional bahkan internasional melalui sastra budaya daerah yang masih tertanam subur di dalam jiwa masyarakat Tolaki.

1 komentar:

  1. saya sepakat dengan pernyataan anda terkait dengan kebudayaan daerah yang sudah ditenggelamkan zaman, tapi jangan juga kita menyalahkan zaman atau pengaruh globalisasi. kita tidak bisa menutup diri terhadap perkembangan arus globalisasi sebab kita hidup di zaman yang serba global. yang terpenting adalah kita harus memfilter setiap perkembangan yang ada. dan yan terpenting juga adalah upaya kita untuk tetap melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah, terlebih lagi kita adalah mahasiswa yang bergelut di bidang sastra. ok jhiiii...!!!!

    BalasHapus