Organisasi Komunitas Arus kembali mengadakan kegiatan sastra, yakni Lesehan Sastra: Diskusi dan Pembacaan Sajak-Sajak Irianto Ibrahim. Kegiatan ini diadakan di pelataran FKIP Unhalu dari pukul 15.30 – 18.00. Kegiatan ini diselenggrakan sebagai langkah apresiatif atas diterbitkannya buku kumpulan puisi karya Irianto Ibrahim: Buton, Ibu dan Sekantong luka. Dengan perkataan lain, kegiatan ini sekaligus lanjutan launching buku kumpulan puisi: Buton, Ibu dan Sekantong luka karya Irianto Ibrahim yang diadakan di Toko Buku Gramedia tanggal 13 Agustus 2010 lalu. Komunitas Arus ingin mencoba sesuatu yang baru, yakni mengadakan launching buku di lapangan terbuka dan tidak seperti launching buku pada umumnya yang dilakukan di dalam gedung. Selain itu, juga untuk mendekatkan buku kumpulan puisi karya Irianto Ibrahim itu dengan mahasiswa. Demikian dijelaskan Zainal Surianto sebagai sekretaris sekaligus menjadi MC pada kegiatan tersebut. Kegiatan ini juga, seperti yang dikatakan MC bahwa kegiatan ini sifatnya terbuka dan sekaligus pertunjukan amal untuk membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan uluran tangan kita, yakni 20% persen dari penjualan buku kumpulan puisi karya Irianto Ibrahim itu untuk disumbangkan ke panti asuhan.
Dalam kegiatan ini terbagi dua acara, yaitu pembacaan sajak-sajak Irianto Ibrahim dan diskusi mengenai buku kumpulan puisi karya Irianto Ibrahim. Pada acara pembacaan sajak-sajak Irianto Ibrahim, dipandu dengan MC, kegiatan ini dimulai dengan Parade puisi oleh anak-anak Komunitas Arus. Puisi yang diparadekan juga diambil dari salah satu puisi Irianto Ibrahim. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan puisi tunggal. Adapun yang membacakan puisi-puisi Irianto Ibrahim ini adalah sebagian besar para penyair Sulawesi Tenggara, yakni Lasidin Lahoga (Papi), Ahid Hidayat, Abdul Razak Abadi (Adhy Rhycal), Iwan Arab, Syaifuddin Gani (Om Puding), Sendranto, La Ode Balawa, dan satu lagi adalah Aulia Indah Hapsari yang merupakan salah satu mahasiswa di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Unhalu angkatan 2010. Nama-nama yang akan membacakan sajak-sajak Irianto Ibrahim sebelumnya sudah disebar lewat pamflet-pamflet untuk menarik para penikmat sastra.
Cuaca di langit pada sore hari itu tidak panas dan tidak hujan, sehingga mendukung kegiatan tersebut yang diadakan dipelataran FKIP Unhalu dan tidak membuat penonoton kepanasan. Di akhir acara pembacaan puisi tunggal tersebut, tiba saatnya Irianto Ibrahim, penulis dari buku kumpulan puisi: Buton, Ibu dan Sekantong luka itu mebacakan sendiri puisinya. Irianto Ibrahim membacakan 3 puisi karyanya, yakni Di Kendari Teater Kota Lama, Perahu Kanak-Kanak, dan Malam Pengantin. Dan kegiatan ini ditutup dengan musikalisasi puisi oleh anak-anak komunitas Arus.
Tak hanya sampai disitu, kegiatan ini dilanjutkan dengan acara diskusi buku kumpulan puisi Buton, Ibu dan Sekantong luka karya Irianto Ibrahim. Alur dari acara diskusi buku ini yaitu masing-masing pembaca puisi Irianto Ibrahim pada acara sebelumnya mengemukakan pendapat dan ulasan mereka mengenai puisi-puisi Irianto Ibrahim di dalam buku kumpulan puisi tersebut. Salah satunya yaitu dari La Ode Balawa yang juga merupakan salah satu dosen di PBSID FKIP Unhalu, berpendapat bahwa puisi-puisi Irianto Ibrahim mempunyai keunikan-keunikan tersendiri terutama pada permainaan subjek lirik dan banyak menggunakan narasi. Sedangkan menurut Ahid Hidayat yang lebih menyoroti pada salah satu puisi Irianto Ibrahim yang dibacakannya pada cara pembacaan sajak-sajak Irianto Ibrahim, yakni berjudul Tiga Alasan Pendulang Meninggalkan Bombana. Ahid hidayat yang juga merupakan salah satu dosen di PBSID FKIP Unhalu, berpendapat bahwa puisi ini merupakan puisi yang paling berbeda diantara puisi-puisi Irianto Ibrahim yang lain. Menurutnya, puisi ini prosais dan cenderung karikaturis juga dari segi bahasa yang terasa miris. Dalam acara ini diskusi ini tidak memakan waktu yang banyak dan ditutup dengan acara buka puasa bersama.
Kegiatan ini mendapatkan apresiasi positif dari beberapa orang. “Kegiatan ini menarik dan jarang diadakan. Dan kegiatan seperti ini bagus untuk orang-orang yang tampil dan orang yang menonton,” Ujar Ahid Hidayat kepada wartawan. Dia mengatakan bahwa problem terbesar di Sulawesi tenggara berkaitan dengan sastra adalah belum memasyarakatnya sastra itu sendiri dan belum menjadi jiwa bagi masyarakatnya. Dan untuk mewujudkan itu, bisa dimulai dengan kegiatan-kegiatan seperti ini. Kalau mahasiswa/siswa belajar tentang sastra, tapi tidak ada aktivitas sastra yang diikuti, beliau mengatakan bahwa jika hanya dijadikan ilmu, sastra itu akan kering.
Di samping itu, menurut Iwan Arab juga berpendapat bahwa yang diharapkan berkembang dari kegiatan seperti ini serta dengan adanya kegiatan ini, Irianto Ibrahim sudah memulai membuat dasar bagi kegiatan sastra yang kreasi-kreasinya dalam seni sastra dan puisi untuk para mahasiswa dan juga masyarakat. “Kegiatan ini, tidak harus sering diadakan, tetapi harus tetap diadakan minimal 3 bulan sekali dan itu sekaligus menghasilkan pertunjukkan dan karya-karya yang sedikit mengarah pada kualitas. Kalau tiap hari atau tiap bulan mungkin hanya sebagai hura-hura saja,” tambah Iwan Arab.
Irianto Ibrahim berhasil meluncurkan buku kumpulan Puisi dan merupakan salah satu kumpulan puisi tunggal yang pertama di Sulawesi Tenggara (Kendari). Menurut Ahid Hidayat, kumpulan puisi ini pertama yang dicetak dalam format buku standar dari seorang penyair tunggal, namun kalau buku kumpulan puisi pertama di sultra yang dicetak dalam buku standar sebetulnya sudah dilakukan juga oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Hanya itu bukan kumpulan puisi tunggal, tapi antologi bersama dan para penulisnya pun belum bisa dikatakan sebagai penyair; mereka masih sedang belajar menulis puisi. (Har)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar