Selasa, 04 Januari 2011

LEGENDA TOLAKI: ASAL MULA NAMA GUNUNG MEKONGGA

Alkisah, pada suatu waktu negeri Sorume (kini bernama negeri Kolaka) dilanda sebuah malapetaka yang sangat dahsyat. Seekor burung garuda raksasa tiba-tiba mengacaukan negeri itu. Setiap hari burung itu menyambar, membawa terbang, dan memangsa binatang ternak milik penduduk, baik itu kerbau, sapi, atau pun kambing. Jika keadaan itu berlangsung terus-menerus, maka lama-kelamaan binatang ternak penduduk akan habis.

Penduduk negeri Kolaka pun diselimuti perasaan khawatir dan takut. Jika suatu saat binatang ternak sudah habis, giliran mereka yang akan menjadi santapan burung garuda itu. Itulah sebabnya mereka takut pergi ke luar rumah mencari nafkah. Terutama penduduk yang sering melewati sebuah padang luas yang bernama Padang Bende. Padang ini merupakan pusat lalu-lintas penduduk menuju ke kebun masing-masing. Sejak kehadiran burung garuda itu, padang ini menjadi sangat sepi, karena tidak seorang pun penduduk yang berani melewatinya.

Pada suatu hari, terdengarlah sebuah kabar bahwa di negeri Solumba (kini bernama Belandete) ada seorang pintar dan sakti yang bernama Larumbalangi. Ia memiliki sebilah keris dan selembar sarung pusaka yang dapat digunakan terbang. Maka diutuslah beberapa orang penduduk untuk menemui orang sakti itu di negeri Solumba. Agar tidak disambar burung garuda, mereka menyusuri hutan lebat dan menyelinap di balik pepohonan besar. Sesampainya di negeri Solumba, utusan itu pun menceritakan peristiwa yang sedang menimpa negeri mereka kepada Larumbalangi.

”Kalian jangan khawatir dengan keadaan ini. Tanpa aku terlibat langsung pun, kalian dapat mengatasi keganasan burung garuda itu,” ujar Larumbalangi sambil tersenyum simpul.

”Bagaimana caranya? Jangankan melawan burung garuda itu, keluar dari rumah saja kami tidak berani,” ucap salah seorang utusan.

”Begini saudara-saudara. Kumpulkan buluh (bambu) yang sudah tua, lalu buatlah bambu runcing sebanyak-banyaknya. Setelah itu carilah seorang laki-laki pemberani dan perkasa untuk dijadikan umpan burung garuda itu di tengah padang. Kemudian, pagari orang itu dengan bambu runcing dan ranjau!” perintah Larumbalangi.

Setelah mendengar penjelasan itu, para utusan kembali ke negerinya untuk menyampaikan pesan Larumbalangi. Penduduk negeri itu pun segera mengundang para kesatria untuk mengikuti sayembara menaklukkan burung garuda.

Keesokan harinya, ratusan kesatria datang dari berbagai negeri untuk memenuhi undangan tersebut. Mereka berkumpul di halaman rumah sesepuh Negeri Kolaka.

”Wahai saudara-saudara! Barangsiapa yang terpilih menjadi umpan dan berhasil menaklukkan burung garuda itu, jika ia seorang budak, maka dia akan diangkat menjadi bangsawan, dan jika ia seorang bangsawan, maka dia akan diangkat menjadi pemimpin negeri ini,” sesepuh negeri itu memberi sambutan.

Setelah itu, sayembara pun dilaksanakan dengan penuh ketegangan. Masing-masing peserta memperlihatkan kesaktian dan kekuatannya. Akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh seorang budak laki-laki bernama Tasahea dari negeri Loeya.

Pada waktu yang telah ditentukan, Tasahea dibawa ke Padang Bende untuk dijadikan umpan burung garuda. Ketika berada di tengah-tengah padang tersebut, budak itu dipagari puluhan bambu runcing. Ia kemudian dibekali sebatang bambu runcing yang sudah dibubuhi racun. Setelah semuanya siap, para warga segera bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan hutan di sekitar padang tersebut. Tinggallah Tasahea seorang diri di tengah lapangan menunggu kedatangan burung garuda itu.

Menjelang tengah hari, cuaca yang semula cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung. Itu pertanda bahwa burung garuda sedang mengintai mangsanya. Alangkah senang hati burung garuda itu saat melihat sosok manusia sedang berdiri di tengah Padang Bende. Oleh karena sudah sangat kelaparan, ia pun segera terbang merendah menyambar Tasahea. Namun, malang nasib burung garuda itu. Belum sempat cakarnya mencengkeram Tasahea, tubuh dan sayapnya sudah tertusuk bambu runcing terlebih dahulu.

Tasahea pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cekatan, ia melemparkan bambu runcingnya ke arah dada burung garuda itu. Dengan suara keras, burung garuda itu kembali menjerit kesakitan sambil mengepak-epakkan sayapnya. Setelah sayapnya terlepas dari tusukan bambu runcing, burung itu terbang tinggi menuju Kampung Pomalaa dengan melewati Kampung Ladongi, Torobulu, Amesiu, Malili, dan Palau Maniang. Akan tetapi, sebelum sampai Pomalaa, ia terjatuh di puncak gunung yang tinggi, karena kehabisan tenaga. Akhirnya ia pun mati di tempat itu.

Sementara itu, penduduk negeri Kolaka menyambut gembira Tasahea yang telah berhasil menaklukkan burung garuda itu. Mereka pun mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Namun, ketika memasuki hari ketujuh yang merupakan puncak dari pesta tersebut, tiba-tiba mereka mencium bau bangkai yang sangat menyengat. Pada saat itu, tersebarlah wabah penyakit mematikan. Banyak penduduk meninggal dunia terserang sakit perut dan muntah-muntah. Sungai, pepohonan, dan tanaman penduduk dipenuhi ulat. Tak satu pun tanaman penduduk yang dapat dipetik hasilnya, karena habis dimakan ulat. Akibatnya, banyak penduduk yang mati kelaparan.

Penduduk yang masih tersisa kembali panik dan cemas melihat kondisi yang mengerikan itu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mereka pun segera mengutus beberapa orang ke negeri Solumba untuk menemui Larumbalangi.

”Negeri kami dilanda musibah lagi,” lapor salah seorang utusan.

”Musibah apalagi yang menimpa kalian?” tanya Larumbalangi

”Iya, Tuan! Negeri kami kembali dilanda bencana yang sangat mengerikan,” jawab seorang utusan lainnya, seraya menceritakan semua perihal yang terjadi di negeri mereka.

”Baiklah, kalau begitu keadaannya. Kembalilah ke negeri kalian. Tidak lama lagi musibah ini akan segera berakhir,” ujar Larumbalangi.

Setelah para utusan tersebut pergi, Larumbalangi segera memejamkan mata dan memusatkan konsentrasinya. Mulutnya komat-kamit membaca doa sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit.

”Ya Tuhan! Selamatkanlah penduduk negeri Kolaka dari bencana ini. Turunkanlah hujan deras, agar bangkai burung garuda dan ulat-ulat itu hanyut terbawa arus banjir!” demikian doa Larumbalangi.

Beberapa saat kemudian, Tuhan pun mengabulkan permohonan Larumbalangi. Cuaca di negeri Kolaka yang semula cerah, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Awan tiba-tiba menggumpal menjadi hitam. Tidak berapa lama, terdengarlah suara guntur dan suara petir. Hujan deras pun turun tanpa henti selama tujuh hari tujuh malam. Seluruh sungai yang ada di negeri Kolaka dilanda banjir besar. Bangkai dan tulang belulang burung garuda itu pun terbawa arus air sungai. Demikian pula ulat-ulat yang melekat di dedaunan dan pepohonan, semuanya hanyut ke laut.

Itulah sebabnya laut di daerah Kolaka terdapat banyak ikan dan batu karangnya. Gunung tempat jatuh dan terbunuhnya burung garuda itu dinamakan Gunung Mekongga, yang artinya gunung tempat matinya elang besar atau garuda. Sementara sungai besar tempat hanyutnya bangkai burung garuda dinamakan Sungai Lamekongga, yaitu sungai tempat hanyutnya bangkai burung garuda.

Budak laki-laki dari Negeri Loeya yang berhasil menaklukkan burung garuda tersebut diangkat derajatnya menjadi seorang bangsawan. Sedangkan Larumbalangi yang berasal dari negeri Solumba diangkat menjadi pemimpin Negeri Kolaka, yaitu negeri yang memiliki tujuh bagian wilayah pemerintahan yang dikenal dengan sebutan ”Tonomotu‘o”.

                                                                   * * *
Terjemahan kedalam bahasa Tolaki:

                                  TARAMBU’UNO TAMONO O’OSU MEKONGGA

Saritano, laa o’aso tembono wonua Sorume (hende’ino tamono Wonua Kolaka) nokono’i abala kadu’ito owoseno. Laa manu-manunggaruda masa’ako laa mohitupi wonua nggitu’o. Tudu oleo, manu-manunggaruda tudu monggamo, monggamo lumangge, ronga monggamo koleleno to’ono dadio, hende’to kiniku, o sapi, o wembe. Keno tembono no’kadadia lau-lau, menggau-menggau koleleno to’ono dadio nggo’opu.

To’ono dadio wonua Kolaka tewere ronga motaku. Keno koleleno opu’ito, nggo hiroto no’kinano. Ieto alasano aro motaku peluarako ari laika mepolaha toro’aha. Kondu’uma to’ono dadio peruku’aro to’ono dadio wuta molua tamono Wuta Molua Bende. Wuta molua ino pesala’ano to’ono dadio lako ine pombahoraro. Tembu’uto nolaa manu-manunggaruda nggiro’o molua ino monua-nua ito, lakonoto tanio to’onota barani meruku.

Laa aso tembo, nepombodea o bawo keno i wonua Solumba (hende’ino tamono Balende) laa aso to’ono nomotau ronga kabala tamono i Larumbalangi. Laa lekeno ronga aso lawa o sawu pusaka inakeno lumaa. Lakonoto inoliwi opio-pio to’ono ronga teposuangge to’ono kabala i wonua Solumba. Keno te’embe yamono kinamo manu-manunggaruda, lakoroto ando’olo motu’o ronga lakoroto mehiako pu’unggasu owose.
Dungguro i wonua Solumba, to’ono ino liwiro sumaru’ikero laa kadadia i wunuaro Larumbalangi.

“Yamoto i tewere laa kadadia ino. Biar kuta’etai inggomiu haika mokotaha’i manu-manunggaruda.” note’eni Larumbalangi ronga komomo.

“Keno te’embe? Yamotoka kilawa’i manu-manunggaruda, peluarako tokaa ari laika taki barani.” note’eni to’ono inoliwi.

“Hende’ino peohai. Kombulu’i kowuna ato mbowai kowuna mondilo dai-dadio. Aringgiro’o, peopolaha langgai barani ronga mokora nggo pombanino manu-manunggaruda i tonga wuta molua. Ano, walai to’ono nggitu’o ronga kowuna mondilo ronga ranjau’i! Parendai Larumbalangi.

Arino modeai, pombokondauno mbembuleiroko i wonuano mokodunggu’ikero oliwino Larumbalangi. To’ono dadio i wonua nggitu’o mondairo langgai moseka’ako nggo eta’i lomba numonarigi’i manu-manunggruda.

Mohinano, o etu langgai moseka leu ari laa luwuako wonua nggo leu mokumulunggitu’o. Leu mbekumbulu i rai laikano banggonano i wonua Kolaka.

“Hende’ino Peohai nggo luwuako! Inae nggo pinowile tewali pomba’ani ronga ano peponangiki manu-manunggaruda, keno iee ata, nggo ieeto tewali to’ono nggomesa. Ronga keno iee to’ono nggawasa, nggo’eto tewali presideno i wonua ino.” Banggonano wonua ne’pidato.

Aringgoro’o, sayembara pinokolako’ito kadu’ito motindino. Owa-oaso to’ono nopokiki’i kabalano. Aringgiro’o, sayembara nggiro’o nopopenangi o ata tamono Tasahea ari wonua Loeya.

Laa aso tembo, Tasahea niawo niwuta Bende nggo pomba’ani manu-manunggaruda. Laato aso tembo, no laa moia i tonga wuta molua, o ata nggiro’o niwala ako kowuna mendilo. Iee pinowehi o aso kowuna mendilo laa rasuno. Luwuako sadia’ito, luwuako to’ono dadio meihako pu’unggasu libutano o wata lua. Moiato Tasahea dowono i tonga lapanga umo’oloi ieno menu-manunggaruda.

Merambi ndonga oleo. Laahuene mengga masa’ako ano rorma. Ngiro’o tandanoto manu-manunggaruda noki’ito panino. Sana’ito penaono manu-manunggaruda nokondo’i to’ono laa menggokoro i tonga wuta molua Bende. Ronga mearo’ito, iee lumaa oputu’ito kumikisi Tasahea. Mano, salawahia’ito manu-manunggaruda. Okino hori umalu’i kumikisi’i Tasahea, wotoluno ronga panino no’ohu ike kowuna mondilo.

Tasahea okino powei tembo. Ronga merare, nokalikeeto kowuna mendilo ine wungguarono manu-manunggaruda. Ronga suara meia, manu-manunggaruda gunugiriri’ito mohakinito ronga mekapasi panino. Tebindano panino arine kowuna mendilo, manu nggiro’o lumaa me’ita’ito lako i kambo Pomalaa ronga luma’i kambo Ladongi, Torobulu, Amesiu, Malili, ano pulau Maniangi. Mano, okino hori dunggu Pomalaa, iee moisa’ito i mumuosu me’ita. No’oputo ponduleno. Sambe mate’ito i mumuosu me’ita.

To’ono dadio wunua Kolaka mokoehe-ehero nototambe’i Tasahea, iee nonaningi’i manu-manunggaruda, lakoroto tekonggoko’te o pitu wingi pitu oleo. Mano,  pewisono oleo kopitu, masa’ako aro powuhe momate-mate. Oleo nggiro’o, tebawo haki mate. Dadio to’ono dadio mate nokono’i haki tia ronga pe’ua. Ala pu’unggasu ronga pinopaho to’ono dadio dadio ulerua. Mbuoki teaso pinopahono to’ono dadio nggo pinupuro, te’embe no’opui kumaa i ule. Dadio to’ono dadio mate me’aro.

To’ono dadio laa toro mbule motaku monggi’i kadadia ini motaku akuro nggo mumbule’ako kadadia. I hiro moliwi opip-pio to’ono ine wonua Solumba teposuangge Larumabalangi.

“Wonua mami nokono’i abala,” laa oaso to’ono liwi laporo.

“abala hawoto kumono komiu?” laa mesuko’i Larumbalangi.

“iye, inggomiu! Wonua mami nokono’i abala.” note’eni o aso inoliwi ronga sumaruta’i luwuako laa kadadia i wonuaro.

Meambo’ito hende nggitu bawono. Mbule’ito wonua miu. Okikeno menggau abala ino ano tetoro.” Note’eni Larumbalangi.

Ari’ino to’oni inoliwi lako, Larumbalangi notutu’i matano ronga pepoko’aso pumbe hawano. Lakonoto mobasa-basa o doa ronga tumangge kaeno inaruo i lahueno.

“Ya Ombu Hata’ala! Poko salama’ikona to’ono dadio i wonua kolaka ari abala. Poko tudu’i kona usa keno te’embe mateno manu-manunggaruda ronga ule-uleno ano rongai solo tebundu.” Hende’inoto pongoni o doa Larumbalangi.

Laa aso tembo, Ombu Hata’ala pokomadupa’ike doano Larumbalangi. Sahea lahuene i wonua Kolaka mengga tewali roroma. O gawu tewali me’eto. Okino menggau, peia’ito o gundu ronga o kila. Tudu’ito usa mbuoki tetoro ano sambe opiti oleo pito wingi. Luwuako ala i wonua Kolaka tebundu owose. Mateno manu-manunggaruda nowawe’ito o solo. Ronga ule-uleno laa-laa tuda’i ine tawa ronga puunggasu luwuako tundu’ito.

Ieto sababuno, o tahi i wonua Kolaka dadio ika ronga watu i tahino. O’osu laha’ano mo’isa ronga laha’ano pinepate ano manu-manunggaruda tinamo’ako ieto Osu Mekongga, batuano osu mate’ano manu-manunggaruda. Mbakopo ala owose pondu’ano mateno manu-manunggaruda tinamo’akoito Ala Lamekongga, batuano ala tondu’ano manu-manunggaruda.

Ata langgai ari Wonua Loeya lumangi’i manu-manunggaruda tinene’ito tewali to’ono nggawasa. Mbakoi Larumbalangi ari wonua Solumba tinene’ito tewali presideno wonua Kolaka, ieto wonua laa pitu wonua pamarenda’a teto’oriako “Tonomotu’o”.

                                                                    * * *

By: Nho_nHo CaBe

Kamis, 30 Desember 2010

MALIN KUNDANG

Malin Kundang adalah cerita rakyat yang berasal dari provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Legenda Malin Kundang berkisah tentang seorang anak yang durhaka pada ibunya dan karena itu dikutuk menjadi batu. Sebentuk batu di pantai Air Manis, Padang, konon merupakan sisa-sisa kapal Malin Kundang.
Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.
Karena merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Malin memutuskan untuk pergi merantau agar dapat menjadi kaya raya setelah kembali ke kampung halaman kelak.
Awalnya Ibu Malin Kundang kurang setuju, mengingat suaminya juga tidak pernah kembali setelah pergi merantau tetapi Malin tetap bersikeras sehingga akhirnya dia rela melepas Malin pergi merantau dengan menumpang kapal seorang saudagar.Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang beruntung, dia sempat bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu sehingga tidak dibunuh oleh para bajak laut.
Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan tenaga yang tersisa, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin yang melihat kedatangan kapal itu ke dermaga melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.
Ibu Malin pun menuju ke arah kapal. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. “Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?”, katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi melihat wanita tua yang berpakaian lusuh dan kotor memeluknya Malin Kundang menjadi marah meskipun ia mengetahui bahwa wanita tua itu adalah ibunya, karena dia malu bila hal ini diketahui oleh istrinya dan juga anak buahnya.
Mendapat perlakukan seperti itu dari anaknya ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menyumpah anaknya “Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu”.
Tidak berapa lama kemudian Malin Kundang kembali pergi berlayar dan di tengah perjalanan datang badai dahsyat menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang. Sampai saat ini Batu Malin Kundang masih dapat dilihat di sebuah pantai bernama pantai Aia Manih, di selatan kota Padang, Sumatera Barat.

Kamis, 30 September 2010

Komunitas Arus: Diskusi dan Pembacaan Sajak-Sajak Irianto Ibrahim

Kendari, BJ
Organisasi Komunitas Arus kembali mengadakan kegiatan sastra, yakni Lesehan Sastra: Diskusi dan Pembacaan Sajak-Sajak Irianto Ibrahim. Kegiatan ini diadakan di pelataran FKIP Unhalu dari pukul 15.30 – 18.00. Kegiatan ini diselenggrakan sebagai langkah apresiatif atas diterbitkannya buku kumpulan puisi karya Irianto Ibrahim: Buton, Ibu dan Sekantong luka. Dengan perkataan lain, kegiatan ini sekaligus lanjutan launching buku kumpulan puisi: Buton, Ibu dan Sekantong luka karya Irianto Ibrahim yang diadakan di Toko Buku Gramedia tanggal 13 Agustus 2010 lalu. Komunitas Arus ingin mencoba sesuatu yang baru, yakni mengadakan launching buku di lapangan terbuka dan tidak seperti launching buku pada umumnya yang dilakukan di dalam gedung. Selain itu, juga untuk mendekatkan buku kumpulan puisi karya Irianto Ibrahim itu dengan mahasiswa. Demikian dijelaskan Zainal Surianto sebagai sekretaris sekaligus menjadi MC pada kegiatan tersebut. Kegiatan ini juga, seperti yang dikatakan MC bahwa kegiatan ini sifatnya terbuka dan sekaligus pertunjukan amal untuk membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan uluran tangan kita, yakni 20% persen dari penjualan buku kumpulan puisi karya Irianto Ibrahim itu untuk disumbangkan ke panti asuhan.

Dalam kegiatan ini terbagi dua acara, yaitu pembacaan sajak-sajak Irianto Ibrahim dan diskusi mengenai buku kumpulan puisi karya Irianto Ibrahim. Pada acara pembacaan sajak-sajak Irianto Ibrahim, dipandu dengan MC, kegiatan ini dimulai dengan Parade puisi oleh anak-anak Komunitas Arus. Puisi yang diparadekan juga diambil dari salah satu puisi Irianto Ibrahim. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan puisi tunggal. Adapun yang membacakan puisi-puisi Irianto Ibrahim ini adalah sebagian besar para penyair Sulawesi Tenggara, yakni Lasidin Lahoga (Papi), Ahid Hidayat, Abdul Razak Abadi (Adhy Rhycal), Iwan Arab, Syaifuddin Gani (Om Puding), Sendranto, La Ode Balawa, dan satu lagi adalah Aulia Indah Hapsari yang merupakan salah satu mahasiswa di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Unhalu angkatan 2010. Nama-nama yang akan membacakan sajak-sajak Irianto Ibrahim sebelumnya sudah disebar lewat pamflet-pamflet untuk menarik para penikmat sastra.

Cuaca di langit pada sore hari itu tidak panas dan tidak hujan, sehingga mendukung kegiatan tersebut yang diadakan dipelataran FKIP Unhalu dan tidak membuat penonoton kepanasan. Di akhir acara pembacaan puisi tunggal tersebut, tiba saatnya Irianto Ibrahim, penulis dari buku kumpulan puisi: Buton, Ibu dan Sekantong luka itu mebacakan sendiri puisinya. Irianto Ibrahim membacakan 3 puisi karyanya, yakni Di Kendari Teater Kota Lama, Perahu Kanak-Kanak, dan Malam Pengantin. Dan kegiatan ini ditutup dengan musikalisasi puisi oleh anak-anak komunitas Arus.

Tak hanya sampai disitu, kegiatan ini dilanjutkan dengan acara diskusi buku kumpulan puisi Buton, Ibu dan Sekantong luka karya Irianto Ibrahim. Alur dari acara diskusi buku ini yaitu masing-masing pembaca puisi Irianto Ibrahim pada acara sebelumnya mengemukakan pendapat dan ulasan mereka mengenai puisi-puisi Irianto Ibrahim di dalam buku kumpulan puisi tersebut. Salah satunya yaitu dari La Ode Balawa yang juga merupakan salah satu dosen di PBSID FKIP Unhalu, berpendapat bahwa puisi-puisi Irianto Ibrahim mempunyai keunikan-keunikan tersendiri terutama pada permainaan subjek lirik dan banyak menggunakan narasi. Sedangkan menurut Ahid Hidayat yang lebih menyoroti pada salah satu puisi Irianto Ibrahim yang dibacakannya pada cara pembacaan sajak-sajak Irianto Ibrahim, yakni berjudul Tiga Alasan Pendulang Meninggalkan Bombana. Ahid hidayat yang juga merupakan salah satu dosen di PBSID FKIP Unhalu, berpendapat bahwa puisi ini merupakan puisi yang paling berbeda diantara puisi-puisi Irianto Ibrahim yang lain. Menurutnya, puisi ini prosais dan cenderung karikaturis juga dari segi bahasa yang terasa miris. Dalam acara ini diskusi ini tidak memakan waktu yang banyak dan ditutup dengan acara buka puasa bersama.

Kegiatan ini mendapatkan apresiasi positif dari beberapa orang. “Kegiatan ini menarik dan jarang diadakan. Dan kegiatan seperti ini bagus untuk orang-orang yang tampil dan orang yang menonton,” Ujar Ahid Hidayat kepada wartawan. Dia mengatakan bahwa problem terbesar di Sulawesi tenggara berkaitan dengan sastra adalah belum memasyarakatnya sastra itu sendiri dan belum menjadi jiwa bagi masyarakatnya. Dan untuk mewujudkan itu, bisa dimulai dengan kegiatan-kegiatan seperti ini. Kalau mahasiswa/siswa belajar tentang sastra, tapi tidak ada aktivitas sastra yang diikuti, beliau mengatakan bahwa jika hanya dijadikan ilmu, sastra itu akan kering.

Di samping itu, menurut Iwan Arab juga berpendapat bahwa yang diharapkan berkembang dari kegiatan seperti ini serta dengan adanya kegiatan ini, Irianto Ibrahim sudah memulai membuat dasar bagi kegiatan sastra yang kreasi-kreasinya dalam seni sastra dan puisi untuk para mahasiswa dan juga masyarakat. “Kegiatan ini, tidak harus sering diadakan, tetapi harus tetap diadakan minimal 3 bulan sekali dan itu sekaligus menghasilkan pertunjukkan dan karya-karya yang sedikit mengarah pada kualitas. Kalau tiap hari atau tiap bulan mungkin hanya sebagai hura-hura saja,” tambah Iwan Arab.

Irianto Ibrahim berhasil meluncurkan buku kumpulan Puisi dan merupakan salah satu kumpulan puisi tunggal yang pertama di Sulawesi Tenggara (Kendari). Menurut Ahid Hidayat, kumpulan puisi ini pertama yang dicetak dalam format buku standar dari seorang penyair tunggal, namun kalau buku kumpulan puisi pertama di sultra yang dicetak dalam buku standar sebetulnya sudah dilakukan juga oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Hanya itu bukan kumpulan puisi tunggal, tapi antologi bersama dan para penulisnya pun belum bisa dikatakan sebagai penyair; mereka masih sedang belajar menulis puisi. (Har)

KEBUDAYAAN “TAENANGO” YANG DITENGGELAMKAN ZAMAN

Oleh:
Cintiawati

Jika kita akan melakukan suatu penelitian untuk mengetahui seberapa banyak generasi muda Tolaki yang memahami ataupun sekedar tahu apa yang dimaksud Taenango, maka yang akan kita dapatkan dari mereka adalah wajah-wajah kebingungan. Terbukti ketika saya melakukan observasi di daerah Konawe Selatan, tepatnya di Kelurahan Ambalodangge. Rata-rata remaja yang berusia 18 tahun ke bawah hingga di bawah umur sudah tidak mengenal lagi yang namanya Taenango. Bahkan mengetahui keberadaan kebudayaan tersebut sama sekali tidak ada gambaran di dalam pikiran mereka. 

Sungguh ironis ketika kita masih mendiami daerah kelahiran kita yang notabene masyarakatnya masih didominasi oleh suku pribumi itu sendiri. Lantas mengapa kebudayaan daerah tersebut tidak diketahui oleh generasi muda sekarang. Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada  pemerintah daerah yang tidak dapat melestarikan kebudayaan tersebut, tetapi kita perlu memahami apa yang menjadi permasalahan sehingga masyarakat ataupun generasi muda yang tidak mau menanamkan jiwa kecintaan mereka terhadap kebudayaan daerah Tolaki yang mulai tertimbun oleh zaman. 

Khususnya di daerah Kelurahan Ambalodangge dan sekitarnya, masyarakat yang mengetahui tentang gambaran umum budaya Taenango hanyalah kalangan orang tua yang sudah lanjut usia. Sedangkan yang bisa membawakan cerita Taenango tersebut tinggal dua orang. Meskipun mereka tahu susunan cerita tersebut tetapi mereka juga tidak mengetahui secara jelas asal-muasal kebudayaan tersebut. Adapun yang  mengetahui secara detail sejarah Taenango, yang tersisa tinggal satu orang dan untuk menemui orang tersebut sangat susah karena di samping daerah tempat tinggalnya yang begitu jauh, orang tersebut juga mempunyai kesibukan tersendiri terkait dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yaitu berkebun. Sehingga saya tidak bisa mencari informasi yang lebih jelas dari orang tersebut.

Ada salah satu tokoh masyarakat yang juga biasa diundang untuk menjadi penghulu pada suatu pernikahan. Akrab disapa Pak Lawoha. Usianya sekitar 65 tahun. Dia sedikit tahu tentang keberadaan budaya Taenango, sehingga saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menanyakan hal ini. Dia mengatakan bahwa Taenango tidak seperti apa yang dipahami masyarakat awam pada umumnya  yang menyamakan Taenango dengan Nango (dalam bahasa Indonesia berarti dongeng) yang biasa diceritakan nenek atau kakek kepada cucunya sebelum tidur, tetapi Taenango merupakan cerita nyata yang sebelumnya sudah pernah terjadi pada masa lampau. Cerita ini tidak asal-asalan diceritakan seperti Nango yang penuh dengan cerita fiksi dan imajinasi dari para pengarangnya, melainkan fakta yang pernah terjadi di masa peradaban manusia, masa kerajaan bahkan awal munculnya manusia di muka bumi ini. Dengan demikian tidak banyak yang bisa menghafal susunan cerita Taenango tersebut, dan ini adalah salah satu kendala sehingga budaya ini susah untuk dilestarikan. Karena untuk menyelesaikan satu cerita Taenango saja bisa memakan waktu hingga satu hari satu malam bahkan lebih dari itu.

Taenango pun juga mempunyai cirri khas dalam penceritaanya, yaitu dengan cara di Niwaeo (dilagukan) dan menggunakan bahasa Tolaki asli yang sangat kental. Sehingga terkadang ada potongan-potongan kata yang tidak dipahami oleh masyarakat awam, kecuali orang-orang yang sudah sangat paham dengan bahasa Tolaki.
Terakhir kali saya mendengar Taenango sewaktu masih duduk di kelas IV Sekolah Dasar. Saat itu Pak Lawoha mengundang seorang kakek yang bernama Randa. Kakek Randa sudah tidak bisa melihat lagi namun daya ingatnya masih sangat kuat, sehingga dia dikenal mahir membawakan Taenango dan sering diundang untuk menghibur masyarakat dengan cerita-cerita zaman dahulu. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah kakek Randa sudah sangat tua hingga akhirnya dia menutup usianya pada saat berumur sekitar 80 tahun dan tidak ada satu pun yang menjadi penerusnya agar Taenango ini tidak punah dari tanah Tolaki.

Dan terbukti hingga saat ini tidak ada lagi kita mendengar di salah satu tempat ada Taenango, seperti dulu yangt tiap minggunya selalu diadakan di rumah-rumah penduduk yang sengaja diundang untuk mendengarkan Taenango. Betapa menyedihkan ketika kehilangan momen seperti itu, dimana masyarakat selalu berkumpul untuk mendengarkan bagaimana sejarah peradaban manusia di zaman dahulu. Di saat-saat seperti itulah kesempatan untuk menguatkan silaturahmi, kebersamaan, dan saling menghargai. 

Seiring perkembangan globalisasi yang sangat cepat hingga menyelusup ke daerah-daerah hingga ke pelosok desa, bukan mencerdaskan kehidupan anak bangsa melainkan menutup perkembangan atau pelestarian budaya daerah, bahkan celah menuju ke tempat dasar kebudayaan tersebut sangat susah. Perkembangan Iptek sudah merajai pemikiran masyarakat. Awalnya dengan adanya Taenango, itu bisa menghibur dan bisa mempersatukan masyarakat. Tetapi setelah adanya hiburan yang dikemas sedemikan rupa di setiap siaran televisi, atau pun media elektronik lainnya membuat masyarakat enggan untuk keluar rumah ataupun mencari hiburan khususnya yang berbau kebudayaan daerah. Teknologi masing-masing sudah dimiliki setiap masyarakat, maka budaya kebersamaan, bertetangga, bahkan persatuan sudah mulai hilang. Inikah yang diharapkan perkembangan Iptek dapat mencerdaskan anak bangsa?

Tidak hanya Taenango yang sudah tersingkir oleh kerasnya arus globalisasi, tetapi masih banyak lagi budaya-budaya yang akan menjadi korban selanjutnya untuk hengkang dari dunia asalnya. Nango atau dongeng sudah mulai tidak diceritakan oleh ibu kepada anaknya sebelum tidur, melainkan lagu nostalgia barat yang diputar melalui DVD yang lebih ampuh membuat anak lebih cepat tidur, tidur untuk melupakan budaya nenek moyangnya. Tolea Pabitara dalam hal ini penghulu yang selalu beradu pantun sebelum pernikahan dilangsungkan, kini sudah mulai hilang. Bahkan bahasa pengantar ijab kabul yang dulunya menggunakan bahasa Tolaki kini sudah mengunakan bahasa Indonesia. Akankah budaya daerah akan terus-menerus menjadi korban arus perkembangan zaman? Entahlah.

Siapa yang harus disalahkan. Pemerintah tidak punya kekuatan untuk mengelak hal-hal tersebut bahkan tidak ada kepedulian untuk tetap melestarikan kebudayaan Taenango tersebut. Begitu pula masyarakat atau pun generasi muda sekarang tidak ada sama sekali terbesit di hati-hati mereka untuk mempelajari budaya-budaya yang menjadi kekayaan daerah Tolaki, Sulawesi Tenggara, Indonesia secara umum. Maka harapan yang sangat signifikan untuk tetap mempertahankan budaya ini adalah bagaimana masalah pemerintah yang didukung oleh masyarakat  untuk mencari bibit-bibit yang bisa dilatih untuk mempelajari Taenango dan kebudayaan daerah Tolaki lainnya. Dengan tujuan dapat mengangkat derajat daerah Sulawesi Tenggara di lingkup nasional bahkan internasional melalui sastra budaya daerah yang masih tertanam subur di dalam jiwa masyarakat Tolaki.

Selasa, 31 Agustus 2010

Drama "Pagi Bening"

Drama Komedi Satu Babak
Karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero
Terjemahan Drs. Sapardi Joko Damono
© 2006

P a g i   B e n i n g
( Drama Komedi Satu Babak dari tanah Spanyol )
Karya Serafin dan Joaquin Alvarez Quintero
Terjemahan Drs. Sapardi Joko Damono
T e m p a t   K e j a d i a n
Madrid – Spanyol
Di suatu tempat – Taman terbuka
Di jaman ini juga
P e m a i n
Donna Laura
Wanita tua,  berumur kira-kira 70 tahun
Masih nampak jelas bahwa dulunya cantik dan tindak tanduknya menunjukkan bahwa mentalnya juga baik.
Don Gonzalo
Lelaki tua, berumur kira-kira 70 tahun lebih
Agak congkak dan selalu tampak tidak sabaran
Petra
Gadis pembantu Laura
Juanito
Pemuda pembantu Gonzalo( DONNA LAURA MASUK, BERPEGANGAN TANGAN PADA PETRA. TANGANNYA YAN LAIN MEMBAWA PAYUNG YANG JUGA UNTUK TONGKATNYA )

LAURA : Aku selalu merasa gembira sekali di sini. Syukur bangkuku tidak ditempati orang lain. Duhai, pagi yang cerah! Cerah sekali.

PETRA :  Tapi matahari agak panas, Senora.

LAURA : Ya, kau masih duapuluh tahun (ia duduk di bangku belakang). Aku merasa lebih letih dari biasanya (melihat petra yang nampak tak sabar), pergilah kalau kau ingin ngobrol dengan tukang kebunmu itu!

PETRA : Dia bukan tukang kebunku, Senora, dia tukang kebun taman ini!

LAURA : Ia lebih tepat disebut milikmu daripada milik taman ini. Cari saja dia. Tapi jangan sampai terlalu jauh hingga tak kau dengar panggilanku.

PETRA : Saya sudah melihatnya di sana, menanti.

LAURA : Pergilah, tapi jangan lebih dari sepuluh menit!

PETRA :  Baik, Senora (berjalan ke kanan)

LAURA :  Hei, nanti dulu!

PETRA  : Ada apa lagi, Senora?

LAURA :  Berikan remah-remah roti itu!

PETRA :  Ah, pelupa benar aku ini!

LAURA : (senyum) Aku tahu! Pikiranmu sudah lekat ke sana, heh, si tukang kebun itu!

PETRA : Ini, Senora (mengeluarkan bungkusan roti. keluar ke kanan)

LAURA : Adios! (memandang ke arah pepohonan). Ha, mereka datang. Mereka tahu kapan mesti datang menemui aku (bangkit dan menyerahkan remah-remah roti). Ini buat yang putih, ini untuk yang coklat, dan ini untuk yang paling kecil tapi kenes. (tertawa dan duduk lagi memandang merpati yang sedang makan). Ah, merpati-merpati yang manis. Itu yang besar mesti lebih dulu, kentara dari kepalanya yang besar, dan itu ... aduh , kenes benar. Hai, yang satu itu selesai mematuk terus terbang ke dahan. Bersunyi diri. Agaknya ia suka berfilsafat. Tapi dari mana saja mereka ini datang? Seperti kabar angin saja! Meluas dengan mudah. Ha, ha, jangan bertengkar. Masih banyak. Besok kubawakan yang lebih banyak lagi!

(Don Gonzalo dan Juanito masuk dari kiri. gonzalo bergantung sedikit pada juanito. kakinya bengkak, agak di seret)

GONZALO : Membuang-buang waktu melulu! Mereka itu suka benar bicara yang bukan-bukan.

JUANITO : Duduk di sini sajalah, senior. Hanya ada seorang wanita.

(Dona Laura menengok dan mendengarkan)

GONZALO : Tidak, Juanito. Aku mau tersendiri.

JUANITO : Tapi tak ada .

GONZALO : Yang di sana itu kan milikku!

JUANITO : Tiga orang pendeta duduk di sana, Senior!

GONZALO : Singkirkan saja mereka! ... ... ... Sudah pergi!

JUANITO : Tentu saja belum! Mereka tengah bercakap-cakap.

GONZALO : Seperti merekat pada bangku saja mereka itu! Heh, tak ada harapan lagi, Juanito. Mari!

JUANITO : (menggandeng ke arah merpati-merpati)

LAURA : (Marah). Awas hati-hati!

GONZALO : Apa Senora berbicara dengan saya?

LAURA : Ya, dengan tuan!

GONZALO : Ada apa?

LAURA : Tuan menakut-nakuti burung-burung merpati saya!

GONZALO : Peduli apa burung-burung itu!

LAURA : Apa, ha?

GONZALO : Ini taman umum, Senora!

LAURA : Tapi kenapa tadi tuan mengutuki pendeta-pendeta di sana itu?

GONZALO : Senora, tapi kita belum pernah jumpa! Dan kenapa tadi Senora menegur saya? Ayo, juanito! (melangkah ke kanan)

LAURA : Buruk amat perangai si tuan itu! Kenapa orang mesti jadi tolol dan pandir kalau sudah meningkat tua? (melihat ke kanan). Syukur. Ia tidak mendapat bangku! Itu, orang yang menakut-nakuti merpati-merpatiku. Ha, ia marah-marah. Ya, ayo, carilah bangku kalau kau dapat! Aduh, kasihan, ia menyeka keringat di dahi. Nah, itu dia kemari lagi. Debu-debu mengepul seperti kereta lewat! (Juanito dan Gonzalo masuk)

GONZALO : Apa sudah pergi pendeta-pendeta yang ngobrol itu, Juan?

JUANITO :  Tentu saja belum, Senior?

GONZALO : Walikota seharusnya lebih banyak menaruh bangku-bangku di sini! Terpaksa juga aku kini duduk bersama wanita tua itu!

(ia duduk di ujung bangku,memandang dengan iri kepada laura, dan memberi hormat dengan mengangkat topi). Selamat pagi.

LAURA : Jadi tuan di sini lagi?

GONZALO : Ku ulang lagi, kita kan belum pernah jumpa!

LAURA : Saya toh cuma membalas salam tuan!

GONZALO : “Selamat Pagi”, mestinya cukup dibalas dengan “selamat pagi” saja.

LAURA : Tapi tuan seharusnya juga minta ijin untuk duduk di bangku saya ini.

GONZALO : Ahai, bangku ini kan milik umum!

LAURA : Kenapa bangku yang di san itu juga tuan katakan milik tuan, hah?

GONZALO : Baik, baik! Sekian sajalah!
( Pada Dirinya Sendiri ) Dasar perempuan tua! Patutnya dia di rumah saja, merenda atau menghitung tasbih.

LAURA : Jangan mengoceh lagi. Aku juga tokh, tak akan pergi untuk sekedar menyenangkan hatimu!

GONZALO : (mengelap sepatunya dengan sapu tangan). Kalau disiram air sedikit tentu lebih baik. Tak berdebu lagi jadinya taman ini.

LAURA : Apa tuan biasa menggunakan saputangan sebagai lap?

GONZALO : Kenapa tidak?!

LAURA : Apa tuan juga menggunakan lap sebagai sapu tangan?

GONZALO : Hah? Nyonya kan tak punya hak untuk mengeritik saya!

LAURA :  Toh sekarang saya ini tetangga tuan!

GONZALO : Juanito! Buku! Bosan mendengarkan nonsense macam itu!

LAURA :  Alangkah sopan santun tuan ini!

GONZALO : Maaf saja nyonya. Tapi saya mengharap nyonya tidak bernapsu campur tangan urusan orang lain!

LAURA : Saya memang biasa melahirkan pikiran-pikiran saya.

GONZALO : Hhh, Juanito! Buku!

JUANITO : Ini, tuan! (mengambil buku dari kantong, Don Gonzalo memandang dengki pada Laura; Gonzalo mengeluarkan kaca pembesar dan kacamata: membuka buku)

LAURA : Oh, saya kira tuan mengeluarkan teleskop.

GONZALO : Nyonya bicara lagi!

LAURA : Tentunya penglihatan tuan masih baik sekali!!

GONZALO : Jauh lebih baik dari penglihatan nyonya!

LAURA :  Ahai, tentu saja!

GONZALO : Kalau tidak percaya, tanyakan saja kepada kelinci-kelinci dan burung-burung.

LAURA : Artinya tuan suka berburu kelinci dan burung?

GONZALO : Saya pemburu memang. Dan sekarang pun saya tengah berburu.

LAURA :  Ya, tentunya! Begitulah!

GONZALO : Ya, Senora. Tiap Minggu saya menyandang bedil bersama anjing saya pergi ke Arazaca. Iseng-iseng berburu! Membunuh waktu!

LAURA : Ya, membunuh waktu! Apa hanya waktu saja bisa tuan bunuh?

GONZALO : Nyonya kira begitu? Saya bisa menunjukkan kepala beruang besar dikamar saya!

LAURA : Dan saya juga bisa menunjukkan kepala singa di kamar tamu saya, meskipun saya bukan pemburu!

GONZALO : Sudahlah nyonya, sudah! Saya mau membaca. Percakapan cukup! Ngomong putus!

LAURA :  Ha, tuan menyerah!

GONZALO : Tapi saya mau ambil obat bersin dulu. (mengambil tempat obat). Nyonya mau? (memberikan obat  itu)

LAURA :  Kalau cocok!

GONZALO : Ini nomor satu! Nyonya tentu akan suka!

LAURA : Memang biasanya akan menghilangkan pusing.

GONZALO : Saya pun begitu.

LAURA :  Tuan suka bersin?

GONZALO : Ya tiga kali.

LAURA : Persis sama dengan saya! (setelah mengambil bubukan, keduanya bersin berganti-ganti masing-masing tiga  kali).

GONZALO :  Ehaaaah, agak enakan sekarang.

LAURA :  Saya pun merasa enak sekarang.
(ke samping) Obat itu telah mendamaikan kami rupanya!

GONZALO : Maaf, saya mau membaca keras. Tidak mengganggu kan?

LAURA : Silahkan sekeras mungkin, tuan tidak menggangu saya lagi.

GONZALO : (Membaca) “ Segala cinta itu menyakitkan hati
Tetapi bagaimana jugapun pedihnya
Cinta adalah sesuatu yang terbaik
Yang pernah kita miliki “
Nah, bait itu dari penyair Campoamor.

LAURA :  Ah!

GONZALO : (Membaca) “ Anak-anak dari para bunda
Yang pernah kucinta
Menciumku sekarang
Seperti bayangan hampa “
Baris-baris ini agak lucu juga rasanya.

LAURA : (tertawa) Kukira juga begitu.

GONZALO : Ada beberapa sajak bagus dalam buku ini. Dengar!
(membaca) “ Duapuluh tahun berlalu
Ia pun kembalilah “

LAURA : Cara tuan membaca dengan kaca pembesar itu sungguh agak menggelikan saya.

GONZALO : Jadi nyonya bisa membaca tanpa kaca pembesar?

LAURA :  Tentu saja, tuan.

GONZALO : Setua itu? Ahai, nyonya main-main saja!

LAURA : Coba saya pinjam buku tuan itu!
(mengambil buku dan membacanya keras-keras)
“Duapuluh tahun berlalu
Dan ia pun kembalilah
Masing-masing saling memandang,
Berkata :
Mungkinkah dia orangnya?
Ya Allah, dimana oranya itu? “

GONZALO : Hebat! Saya iri hati pada penglihatan nyonya.

LAURA : (Kesamping) Hmm, saya hafal tiap kata syair itu.

GONZALO : Saya gemar sekali puisi-puisi yang bagus. Sungguh gemar sekali. Bahkan ketika masih muda, kadang-kadang suka bersyair.

LAURA :  Sajak-sajak bagus juga?

GONZALO : Ya, macam-macamlah. Saya dulu sahabat dari Exprosoda, Zorilla, Bocquer, dan penyair-penyair lain. Saya kenal Zorilla pertama kali di Amerika.

LAURA : Eh, tuan pernah ke Amerika?

GONZALO : Sering juga. Pertama kesana saya waktu umur 6 tahun.

LAURA:  Tentunya dulu tuan ikut Colombus.

GONZALO :  (Tertawa) Yah, tidak sejelek itu nasibku! Saya sudah tua, tapi belum pernah kenal Raja Ferdinand serta Ratu Isabella!

(Keduanya Tertawa). Saya juga teman Campoamor, berjumpa pertama kali di Valensia. Saya warga kota di sana.

LAURA :  Apa sungguh?

GONZALO : Saya dibesarkan disana. Dan masa mudaku habis di kota itu. Apa nyonya pernah ke Valensia?

LAURA : Pernah! Tiada jauh dari Valensia ada sebuah villa dan kalau masih berdiri sekarang, bisa mengembalikan kenangan-kenangan yang manis. Saya pernah tinggal beberapa musim di sana. Tapi sudah lama lampau. Villa itu dekat laut, tersembunyi antara pohon jeruk. Mereka menyebutnya ... ah ... lupa ... o ya, Villa Maricella.

GONZALO : Maricella?

LAURA : Maricella. Apa tuan  pernah mendengarnya?

GONZALO : Tak asing lagi nama itu ... ah, kita tambah tua tambah pelupa ... di Villa itu dulu ada seorang wanita paling cantik yang pernah saya lihat dan saya kenal. Dan namanya ... O ya, Laura Liorento!

LAURA : (Kaget) Laura Liorento?

GONZALO : Benar (mereka saling tatap)

LAURA : (sadar lagi) Ah, tak apa-apa, hanya mengingatkan saya pada teman karib saya.

GONZALO : Aneh juga.

LAURA : Memang aneh! Dia diberi sebutan “ Perawan Bagai Perak”.

GONZALO : Tepat, “Perawan Bagai Perak”. Nama itulah yang terkenal di sana. Sekarang saya seperti melihatnya kembali di jendela di antara kembang mawar merah itu. Nyonya ingat jendela itu?

LAURA :  Ya, saya ingat itulah jendela kamarnya.

GONZALO : Dulu dia suka berjam-jam di jendela.

LAURA : (melamun) Ya, memang dulu dia suka begitu.

GONZALO: Dia gadis ideal. Manis bagai kembang lilia. Rambutnya hitam. Sungguh mengesankan sekali! Mengesankan sampai kapan saja. Tubuhnya ramping sempurna. Betapa Tuhan telah menciptakan keindahan seperti itu. Dia seperti impian saja.
 
LAURA : (ke samping) Jika seandainya tuan tahu bahwa impian itu ada di samping tuan, tuan akan sadar impian macam apa itu, heh?

(keras-keras) Dia adalah gadis yang malang yang gagal cinta.

GONZALO : Betapa sedihnya (mereka saling memandang)

LAURA : Tuan pernah mendengar kabarnya?

GONZALO : Ya, pernah.

LAURA : Nasib malang meminta yang lain.
    (kesamping) Gonzalo!

GONZALO : Si jago cinta cakap itu! Peristiwa cinta yang sama.

LAURA :  Ah, duel itu.

GONZALO : Tepat, duel itu. Si Jago Cinta itu adalah ... saudara sepupu saya. Saya juga sayang sekali kepadanya.

LAURA : Oh ya, saudara sepupu. Seorang temanku menyurati saya dan bercerita tentang mereka. Dia ... saudara sepupu tuan itu ... tiap pagi lewat di depan jendelanya dengan naik kuda, dan melemparkan ke atas seberkas kembang yang segera disambut gadisnya.

GONZALO : Dan tak lama kemudian, dia ... saudara sepupu saya itu ... lewat lagi untuk menerima kembang dari atas. Begitu?

LAURA : Benar. Dan keluarga gadis itu ingin agar ia kawin dengan saudagar yang tidak ia cintai.

GONZALO : Dan pada suatu malam, ketika saudara sepupuku tadi tengah menanti gadisnya menyanyi ... di bawah jendela, lelaki itu muncul dengan tiba-tiba.

LAURA : Dan menghina saudara tuan itu.

GONZALO : Kemudian  pertengkaran terjadi.

LAURA : Dan kemudian ... duel!

GONZALO : Ya, waktu matahari terbit, di tepi pantai, dan si Saudagar itu luka-luka parah. Saudara sepupu saya itu harus bersembunyi dan kemudian melarikan diri.
LAURA : Tuan rupanya mengetahui benar ceritanya.

GONZALO : Nyonya pun begitu agaknya.

LAURA : Saya katakan tadi, seorang teman telah menyurati saya.

GONZALO : Saya pun diceritai oleh saudara sepupu saya.
(ke samping) Heh, inilah Laura itu! Tak salah!

LAURA : (ke samping) Kenapa menceritakan padanya? Dia tak curiga   apa-apa.

GONZALO : (ke samping) Dia sama sekali tak bersalah.

LAURA : Dan apakah tuan pula yang menasihati saudara tuan itu untuk melupakan Laura?

GONZALO : Ooo, saudara sepupu saya tak pernah melupakannya.

LAURA : Bagaimana begitu?

GONZALO : Akan saya ceritakan segalanya kepada nyonya.
Anak muda – Don Gonzalo itu – bersembunyi di rumah saya, takut menanggung akibatnya yang buruk sehabis menang duel itu. Dari rumah saya ia terus lari ke Madrid. Ia kirim surat-surat kepada Laura, di antaranya sajak-sajak. Tapi tentunya surat-surat itu jatuh ke tangan orang tuanya. Buktinya tak ada balasan. Kemudian Gonzalo pergi ke Afrika, sebab cintanya telah gagal sama sekali, masuk tentara dan terbunuh di sebuah selokan sambil menyebut berulangkali nama Lauranya yang sangat tercinta.

LAURA : (ke samping) Dusta! Heh, dusta kotor belaka!

GONZALO :  (ke samping) Saya tak bisa membunuh diriku lebih  ngeri lagi.

LAURA : Tuan tentunya telah ditumbangkan kesedihan yang sangat

GONZALO : Memang betul, nyonya. Dia seperti saudaraku sendiri. Dan saya kira tak lama kemudian, Laura telah melupakannya. Kembali bermain memburu kupu-kupu seperti biasanya. Tak pernah meratapinya.

LAURA : Tidak, Senior. Sama sekali tidak!

GONZALO : Biasanya perempuan memang begitu!

LAURA : Kalaupun itu sudah sifat perempuan, “Perawan Bagai Perak” adalah terkecuali! Teman saya itu menanti berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun dan tak selembar suratpun tiba. Suatu senja ketika matahari  terbenam, dia meninggalkan rumahnya dan dengan langkah tergesa menuju pantai tempat kekasihnya menjaga nama baiknya. Ia menuliskan namanya di pasir, lalu duduk di atas karang, memandang ke kaki langit. Ombak menyanyikan tembang duka yang kekal, dan menggapai batu karang di mana perawan itu duduk. Air pasang segera tiba dan menyapu gadis itu dari muka bumi.

GONZALO : Ya Allah!

LAURA : Para nelayan di situ sering menceritakan bahwa nama yang ditulis gadis itu lenyap ditelan air pasang.
(ke samping) Toh kamu tak tahu aku reka-reka sendiri cerita kematianku!

GONZALO : ( ke samping ) Dia berdusta lebih ngeri dari dustaku!

LAURA :  Ah, Laura yang malang!

GONZALO : Wahai Gonzalo yang malang!

LAURA : (ke samping) Aku takkan bercerita kepadanya bahwa aku kawin dua tahun kemudian setelah duel itu!

GONZALO : (ke samping) Aku takkan bercerita kepadanya bahwa dua bulan kemudian aku mengawini penari ballet  dari Paris!

LAURA :  Nasib memang selalu aneh. Di sini, tuan dan saya, dua orang asing, bertemu secara kebetulan dan saling menceritakan kisah cinta yang sama dari dua teman lama yang telah bertahun lalu terjadi, seperti sudah akrab benar kita ini!

GONZALO : Ya, memang aneh. Padahal mula-mula kita bertemu tadi, kita bertengkar.

LAURA : Tuan juga yang tadi mengganggu merpati-merpati saya.

GONZALO : Memang agak kasar saya tadi.

LAURA : Memang kasar. (ramah) Tuan datang lagi besok pagi?

GONZALO : Tentu, asal pagi secerah ini. Dan takkan lagi mengganggu merpati-merpati itu, tapi saya akan membawa remah-remah roti besok.

LAURA : Oh, terima kasih. Burung-burung  selalu tahu berterimakasih. Hei! Mana pembantuku tadi? – Petra!

GONZALO : (melihat laura yang membelakang) Tidak! Tak akan kukatakan siapa aku ini sebenarnya. Aku sudah tua dan lemah. Biarlah dia mengangankan aku sebagai penunggang kuda tampan yang lewat di bawah jendelanya.

LAURA : Nah, itu dia.

GONZALO : Itu Juanito! Dia sedang bercanda dengan gadisnya! (mengisyarati)

LAURA : (memandang gonzalo yang membelakang) Tidak, aku sudah berubah tua. Lebih baik ia mengingatku sebagai gadis bermata hitam yang melempar bunga dari jendela.

(juanito dan petra masuk) Hei, Petra!

GONZALO : Juanito, kau sedikit lambat.

PETRA : (kepada laura) Si tukang kebun memberikan bunga-bunga ini kepada Seniora.

LAURA : Alangkah bagusnya. Terima kasih. Sedap benar baunya! (beberapa bunga gugur ke tanah)

GONZALO : Ini semua sungguh menyenangkan, Senora!

LAURA : Demikian juga saya, Senior!

GONZALO : Sampai besok, nyonya!

LAURA : Sampai besok, tuan!

GONZALO : Agak panas hari ini!

LAURA : Pagi yang cerah. Tuan besok pergi ke bangku tuan?

GONZALO : Tidak, saya akan kemari saja. Itu kalau nyonya tidak berkeberatan.

LAURA : Bangku ini  selalu menanti tuan!

GONZALO : Akan saya bawa remah-remah roti!
LAURA : Besok pagi, jadilah!

GONZALO : Besok pagi. (laura melangkah ke kanan berpegang pada petra. gonzalo membungkuk susah payah memungut bunga yang jatuh tadi, dan laura menengok ketika itu)

LAURA : Apa yang tuan kerjakan?

GONZALO : Juanito, tunggu dong!

LAURA : Tak salah, dialah Gonzalo!


GONZALO : (ke samping) Tak salah, dialah Laura!
(mereka masing-masing melambaikan tangan)

LAURA : Mungkinkah dia itu benar orangnya?

GONZALO : Ya Allah, diakah orangnya itu?
(keduanya tersenyum)


L a y a r   T u r u n