Kamis, 30 September 2010

Komunitas Arus: Diskusi dan Pembacaan Sajak-Sajak Irianto Ibrahim

Kendari, BJ
Organisasi Komunitas Arus kembali mengadakan kegiatan sastra, yakni Lesehan Sastra: Diskusi dan Pembacaan Sajak-Sajak Irianto Ibrahim. Kegiatan ini diadakan di pelataran FKIP Unhalu dari pukul 15.30 – 18.00. Kegiatan ini diselenggrakan sebagai langkah apresiatif atas diterbitkannya buku kumpulan puisi karya Irianto Ibrahim: Buton, Ibu dan Sekantong luka. Dengan perkataan lain, kegiatan ini sekaligus lanjutan launching buku kumpulan puisi: Buton, Ibu dan Sekantong luka karya Irianto Ibrahim yang diadakan di Toko Buku Gramedia tanggal 13 Agustus 2010 lalu. Komunitas Arus ingin mencoba sesuatu yang baru, yakni mengadakan launching buku di lapangan terbuka dan tidak seperti launching buku pada umumnya yang dilakukan di dalam gedung. Selain itu, juga untuk mendekatkan buku kumpulan puisi karya Irianto Ibrahim itu dengan mahasiswa. Demikian dijelaskan Zainal Surianto sebagai sekretaris sekaligus menjadi MC pada kegiatan tersebut. Kegiatan ini juga, seperti yang dikatakan MC bahwa kegiatan ini sifatnya terbuka dan sekaligus pertunjukan amal untuk membantu saudara-saudara kita yang membutuhkan uluran tangan kita, yakni 20% persen dari penjualan buku kumpulan puisi karya Irianto Ibrahim itu untuk disumbangkan ke panti asuhan.

Dalam kegiatan ini terbagi dua acara, yaitu pembacaan sajak-sajak Irianto Ibrahim dan diskusi mengenai buku kumpulan puisi karya Irianto Ibrahim. Pada acara pembacaan sajak-sajak Irianto Ibrahim, dipandu dengan MC, kegiatan ini dimulai dengan Parade puisi oleh anak-anak Komunitas Arus. Puisi yang diparadekan juga diambil dari salah satu puisi Irianto Ibrahim. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan puisi tunggal. Adapun yang membacakan puisi-puisi Irianto Ibrahim ini adalah sebagian besar para penyair Sulawesi Tenggara, yakni Lasidin Lahoga (Papi), Ahid Hidayat, Abdul Razak Abadi (Adhy Rhycal), Iwan Arab, Syaifuddin Gani (Om Puding), Sendranto, La Ode Balawa, dan satu lagi adalah Aulia Indah Hapsari yang merupakan salah satu mahasiswa di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Unhalu angkatan 2010. Nama-nama yang akan membacakan sajak-sajak Irianto Ibrahim sebelumnya sudah disebar lewat pamflet-pamflet untuk menarik para penikmat sastra.

Cuaca di langit pada sore hari itu tidak panas dan tidak hujan, sehingga mendukung kegiatan tersebut yang diadakan dipelataran FKIP Unhalu dan tidak membuat penonoton kepanasan. Di akhir acara pembacaan puisi tunggal tersebut, tiba saatnya Irianto Ibrahim, penulis dari buku kumpulan puisi: Buton, Ibu dan Sekantong luka itu mebacakan sendiri puisinya. Irianto Ibrahim membacakan 3 puisi karyanya, yakni Di Kendari Teater Kota Lama, Perahu Kanak-Kanak, dan Malam Pengantin. Dan kegiatan ini ditutup dengan musikalisasi puisi oleh anak-anak komunitas Arus.

Tak hanya sampai disitu, kegiatan ini dilanjutkan dengan acara diskusi buku kumpulan puisi Buton, Ibu dan Sekantong luka karya Irianto Ibrahim. Alur dari acara diskusi buku ini yaitu masing-masing pembaca puisi Irianto Ibrahim pada acara sebelumnya mengemukakan pendapat dan ulasan mereka mengenai puisi-puisi Irianto Ibrahim di dalam buku kumpulan puisi tersebut. Salah satunya yaitu dari La Ode Balawa yang juga merupakan salah satu dosen di PBSID FKIP Unhalu, berpendapat bahwa puisi-puisi Irianto Ibrahim mempunyai keunikan-keunikan tersendiri terutama pada permainaan subjek lirik dan banyak menggunakan narasi. Sedangkan menurut Ahid Hidayat yang lebih menyoroti pada salah satu puisi Irianto Ibrahim yang dibacakannya pada cara pembacaan sajak-sajak Irianto Ibrahim, yakni berjudul Tiga Alasan Pendulang Meninggalkan Bombana. Ahid hidayat yang juga merupakan salah satu dosen di PBSID FKIP Unhalu, berpendapat bahwa puisi ini merupakan puisi yang paling berbeda diantara puisi-puisi Irianto Ibrahim yang lain. Menurutnya, puisi ini prosais dan cenderung karikaturis juga dari segi bahasa yang terasa miris. Dalam acara ini diskusi ini tidak memakan waktu yang banyak dan ditutup dengan acara buka puasa bersama.

Kegiatan ini mendapatkan apresiasi positif dari beberapa orang. “Kegiatan ini menarik dan jarang diadakan. Dan kegiatan seperti ini bagus untuk orang-orang yang tampil dan orang yang menonton,” Ujar Ahid Hidayat kepada wartawan. Dia mengatakan bahwa problem terbesar di Sulawesi tenggara berkaitan dengan sastra adalah belum memasyarakatnya sastra itu sendiri dan belum menjadi jiwa bagi masyarakatnya. Dan untuk mewujudkan itu, bisa dimulai dengan kegiatan-kegiatan seperti ini. Kalau mahasiswa/siswa belajar tentang sastra, tapi tidak ada aktivitas sastra yang diikuti, beliau mengatakan bahwa jika hanya dijadikan ilmu, sastra itu akan kering.

Di samping itu, menurut Iwan Arab juga berpendapat bahwa yang diharapkan berkembang dari kegiatan seperti ini serta dengan adanya kegiatan ini, Irianto Ibrahim sudah memulai membuat dasar bagi kegiatan sastra yang kreasi-kreasinya dalam seni sastra dan puisi untuk para mahasiswa dan juga masyarakat. “Kegiatan ini, tidak harus sering diadakan, tetapi harus tetap diadakan minimal 3 bulan sekali dan itu sekaligus menghasilkan pertunjukkan dan karya-karya yang sedikit mengarah pada kualitas. Kalau tiap hari atau tiap bulan mungkin hanya sebagai hura-hura saja,” tambah Iwan Arab.

Irianto Ibrahim berhasil meluncurkan buku kumpulan Puisi dan merupakan salah satu kumpulan puisi tunggal yang pertama di Sulawesi Tenggara (Kendari). Menurut Ahid Hidayat, kumpulan puisi ini pertama yang dicetak dalam format buku standar dari seorang penyair tunggal, namun kalau buku kumpulan puisi pertama di sultra yang dicetak dalam buku standar sebetulnya sudah dilakukan juga oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Hanya itu bukan kumpulan puisi tunggal, tapi antologi bersama dan para penulisnya pun belum bisa dikatakan sebagai penyair; mereka masih sedang belajar menulis puisi. (Har)

KEBUDAYAAN “TAENANGO” YANG DITENGGELAMKAN ZAMAN

Oleh:
Cintiawati

Jika kita akan melakukan suatu penelitian untuk mengetahui seberapa banyak generasi muda Tolaki yang memahami ataupun sekedar tahu apa yang dimaksud Taenango, maka yang akan kita dapatkan dari mereka adalah wajah-wajah kebingungan. Terbukti ketika saya melakukan observasi di daerah Konawe Selatan, tepatnya di Kelurahan Ambalodangge. Rata-rata remaja yang berusia 18 tahun ke bawah hingga di bawah umur sudah tidak mengenal lagi yang namanya Taenango. Bahkan mengetahui keberadaan kebudayaan tersebut sama sekali tidak ada gambaran di dalam pikiran mereka. 

Sungguh ironis ketika kita masih mendiami daerah kelahiran kita yang notabene masyarakatnya masih didominasi oleh suku pribumi itu sendiri. Lantas mengapa kebudayaan daerah tersebut tidak diketahui oleh generasi muda sekarang. Kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada  pemerintah daerah yang tidak dapat melestarikan kebudayaan tersebut, tetapi kita perlu memahami apa yang menjadi permasalahan sehingga masyarakat ataupun generasi muda yang tidak mau menanamkan jiwa kecintaan mereka terhadap kebudayaan daerah Tolaki yang mulai tertimbun oleh zaman. 

Khususnya di daerah Kelurahan Ambalodangge dan sekitarnya, masyarakat yang mengetahui tentang gambaran umum budaya Taenango hanyalah kalangan orang tua yang sudah lanjut usia. Sedangkan yang bisa membawakan cerita Taenango tersebut tinggal dua orang. Meskipun mereka tahu susunan cerita tersebut tetapi mereka juga tidak mengetahui secara jelas asal-muasal kebudayaan tersebut. Adapun yang  mengetahui secara detail sejarah Taenango, yang tersisa tinggal satu orang dan untuk menemui orang tersebut sangat susah karena di samping daerah tempat tinggalnya yang begitu jauh, orang tersebut juga mempunyai kesibukan tersendiri terkait dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yaitu berkebun. Sehingga saya tidak bisa mencari informasi yang lebih jelas dari orang tersebut.

Ada salah satu tokoh masyarakat yang juga biasa diundang untuk menjadi penghulu pada suatu pernikahan. Akrab disapa Pak Lawoha. Usianya sekitar 65 tahun. Dia sedikit tahu tentang keberadaan budaya Taenango, sehingga saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menanyakan hal ini. Dia mengatakan bahwa Taenango tidak seperti apa yang dipahami masyarakat awam pada umumnya  yang menyamakan Taenango dengan Nango (dalam bahasa Indonesia berarti dongeng) yang biasa diceritakan nenek atau kakek kepada cucunya sebelum tidur, tetapi Taenango merupakan cerita nyata yang sebelumnya sudah pernah terjadi pada masa lampau. Cerita ini tidak asal-asalan diceritakan seperti Nango yang penuh dengan cerita fiksi dan imajinasi dari para pengarangnya, melainkan fakta yang pernah terjadi di masa peradaban manusia, masa kerajaan bahkan awal munculnya manusia di muka bumi ini. Dengan demikian tidak banyak yang bisa menghafal susunan cerita Taenango tersebut, dan ini adalah salah satu kendala sehingga budaya ini susah untuk dilestarikan. Karena untuk menyelesaikan satu cerita Taenango saja bisa memakan waktu hingga satu hari satu malam bahkan lebih dari itu.

Taenango pun juga mempunyai cirri khas dalam penceritaanya, yaitu dengan cara di Niwaeo (dilagukan) dan menggunakan bahasa Tolaki asli yang sangat kental. Sehingga terkadang ada potongan-potongan kata yang tidak dipahami oleh masyarakat awam, kecuali orang-orang yang sudah sangat paham dengan bahasa Tolaki.
Terakhir kali saya mendengar Taenango sewaktu masih duduk di kelas IV Sekolah Dasar. Saat itu Pak Lawoha mengundang seorang kakek yang bernama Randa. Kakek Randa sudah tidak bisa melihat lagi namun daya ingatnya masih sangat kuat, sehingga dia dikenal mahir membawakan Taenango dan sering diundang untuk menghibur masyarakat dengan cerita-cerita zaman dahulu. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah kakek Randa sudah sangat tua hingga akhirnya dia menutup usianya pada saat berumur sekitar 80 tahun dan tidak ada satu pun yang menjadi penerusnya agar Taenango ini tidak punah dari tanah Tolaki.

Dan terbukti hingga saat ini tidak ada lagi kita mendengar di salah satu tempat ada Taenango, seperti dulu yangt tiap minggunya selalu diadakan di rumah-rumah penduduk yang sengaja diundang untuk mendengarkan Taenango. Betapa menyedihkan ketika kehilangan momen seperti itu, dimana masyarakat selalu berkumpul untuk mendengarkan bagaimana sejarah peradaban manusia di zaman dahulu. Di saat-saat seperti itulah kesempatan untuk menguatkan silaturahmi, kebersamaan, dan saling menghargai. 

Seiring perkembangan globalisasi yang sangat cepat hingga menyelusup ke daerah-daerah hingga ke pelosok desa, bukan mencerdaskan kehidupan anak bangsa melainkan menutup perkembangan atau pelestarian budaya daerah, bahkan celah menuju ke tempat dasar kebudayaan tersebut sangat susah. Perkembangan Iptek sudah merajai pemikiran masyarakat. Awalnya dengan adanya Taenango, itu bisa menghibur dan bisa mempersatukan masyarakat. Tetapi setelah adanya hiburan yang dikemas sedemikan rupa di setiap siaran televisi, atau pun media elektronik lainnya membuat masyarakat enggan untuk keluar rumah ataupun mencari hiburan khususnya yang berbau kebudayaan daerah. Teknologi masing-masing sudah dimiliki setiap masyarakat, maka budaya kebersamaan, bertetangga, bahkan persatuan sudah mulai hilang. Inikah yang diharapkan perkembangan Iptek dapat mencerdaskan anak bangsa?

Tidak hanya Taenango yang sudah tersingkir oleh kerasnya arus globalisasi, tetapi masih banyak lagi budaya-budaya yang akan menjadi korban selanjutnya untuk hengkang dari dunia asalnya. Nango atau dongeng sudah mulai tidak diceritakan oleh ibu kepada anaknya sebelum tidur, melainkan lagu nostalgia barat yang diputar melalui DVD yang lebih ampuh membuat anak lebih cepat tidur, tidur untuk melupakan budaya nenek moyangnya. Tolea Pabitara dalam hal ini penghulu yang selalu beradu pantun sebelum pernikahan dilangsungkan, kini sudah mulai hilang. Bahkan bahasa pengantar ijab kabul yang dulunya menggunakan bahasa Tolaki kini sudah mengunakan bahasa Indonesia. Akankah budaya daerah akan terus-menerus menjadi korban arus perkembangan zaman? Entahlah.

Siapa yang harus disalahkan. Pemerintah tidak punya kekuatan untuk mengelak hal-hal tersebut bahkan tidak ada kepedulian untuk tetap melestarikan kebudayaan Taenango tersebut. Begitu pula masyarakat atau pun generasi muda sekarang tidak ada sama sekali terbesit di hati-hati mereka untuk mempelajari budaya-budaya yang menjadi kekayaan daerah Tolaki, Sulawesi Tenggara, Indonesia secara umum. Maka harapan yang sangat signifikan untuk tetap mempertahankan budaya ini adalah bagaimana masalah pemerintah yang didukung oleh masyarakat  untuk mencari bibit-bibit yang bisa dilatih untuk mempelajari Taenango dan kebudayaan daerah Tolaki lainnya. Dengan tujuan dapat mengangkat derajat daerah Sulawesi Tenggara di lingkup nasional bahkan internasional melalui sastra budaya daerah yang masih tertanam subur di dalam jiwa masyarakat Tolaki.